Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana prosedur penagihan pajak dengan surat paksa dan bagaimana akibat hukum penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan metode penelitian kepustakaan disimpulkan bahwa: 1. Prosedur penagihan pajak dengan surat paksa dapat dilakukan apabila terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, atau penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. 2. UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa bahwa surat paksa tidak dapat ditentang, apabila terdapat pihak-pihak yang beranggapan dirugikan karena tidak sesuai dengan ketentuan –ketentuan Hukum yang berlaku dapat dilakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan yang ditunjukkan kepada Pengadilan pajak. Kata kunci: pajak, surat paksa
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam UU NO. 19 tahun 2000. Bilamana utang pajak tidak dibayar, maka KPP menerbitkan surat teguran, dilanjutkan dengan penerbitan surat perintah melakukan penyitaan, dan apabila masih belum dibayar, lalu dilakukan tindakan lelang oleh kantor lelang negara atas permintaan kantor pelayanan pajak yang bersangkutan, penyitaan dilakukan oleh Jurusita pajak. Tindakan penyitaan dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu urutan-urutan penagihan pajak. Tindakan penagihan pajak yang selama ini dilaksanakan adalah berdasarkan pada UU No. 19 tahun 1997. Dengan UU penagihan pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberi penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah/tidak memihak, adil, serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.
B. PERUMUSAN PERMASALAHAN
Bagaimana prosedur penagihan pajak dengan surat paksa ?
Bagaimana akibat hukum penagihan pajak dengan surat paksa ?
C.METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan cara menggunakan berbagai sumber pustaka, seperti buku-buku literatur dan peraturan perundangan serta sumber data lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan tulisan ini.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Perpajakan
Setiap negara, khususnya negara yang sedang berkembang, sedang giatgiatnya melaksanakan pembangunan yang berkesinambungan. Pembangunan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Pelaksanaan pembangunan tersebut ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan warga negaranya. Pelaksanaan pembangunan membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga dibutuhkan partisipasi rakyat dalam pelaksanaannya. Partisipasi rakyat tersebut salah satunya melalui pembayaran pajak.
B. Konsep Dasar Penagihan Pajak
Pengertian Penagihan Pajak
Dasar Hukum Penagihan Pajak
Tahap Pelaksanaan Tindakan Penagihan Pajak
Surat Paksa
Penyitaan
Pencegahan dan Penyanderaan
Daluwarsa Penagihan Pajak
Pelaksana Tindakan Penagihan
PEMBAHASAN
A. Proses Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 A.1. Latar Belakang lahirnya UndangUndang No. 19 tahun 2000
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan, sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran masyarakat di bidang perpajakan harus ditunjang dengn iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan Perundang-undangan Perpajakan. Peran serta masyarakat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya. Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan di bidang pajak semakin meningkat. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa.
Keputusan wajib pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kewajiban pajak sangat perlu mendapat perhatian. Sebagaimana dikemukakan di atas di dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud law enforcement. Untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi wajib pajak.
Tindakan penagihan pajak yang selama ini dilaksanakan adalah berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Dengan UndangUndang Penagihan Pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini dan didukung dengan semangat reformasi perlu kiranya dilakukan pembaharuan Undang-Undang penagihan pajak dengan dilandasi pokok-pokok pikiran sebagai berikut : 1.Memperhatikan ketentuan perundang-undangan lain seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 2.Menegakkan keadilan. 3.Memberikan perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. 4.Melaksanakan law enforcement. Secara konsisten dengan berdasarkan pada jadwal waktu penagihan yang telah ditentukan.
Beberapa pokok perubahan yang menjadi perhatian dalam pembaharuan Undang-Undang Penagihan Pajak ini adalah sebagai berikut :
Mempertegas proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan penerbitan surat teguran, surat peringatan dan surat lain yang sejenis sebelum surat paksa dilaksanakan.
Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif.
mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi juga komisaris, pemegang saham pemilik modal.
Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak.
Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang.
Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan presentase tertentu dari hasil penjualan.
Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh wajib pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak.
Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan melalui media masa dalam rangka efisiensi.
Memperjelas hak penanggung pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan.
Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.
A.2. Perbedaan Dan Persamaan Antara Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
Antara Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 (UU No. 19/1959) dengan UndangUndang Nomor 19 tahun 2000 (UU No. 19/2000) tentulah terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan yang terdapat diantara kedua Undang-Undang tersebut antara lain adalah :
Surat paksa mempunyai kekuatan executorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap (tidak dapat dilakukan banding). Hal ini diatur didalam pasa 3 ayat 2 UU No. 19/1959 dan pasal 7 ayat 1 UU No. 19/2000.
Proses pemberitahuan surat paksa oleh jurusita. Pada kedua Undang-Undang tersebut, proses pemberitahuan oleh jurusita pada dasarnya sama, akan tetapi pada Undang-Undang yang baru lebih jelas. Hal ini diatur dalam pasal 6 UU No. 19/1959 dan pasal 10 UU No.19/2000.
Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak dan dapat dipercaya. Hal ini diatur dalam pasal 9 ayat 2 UU No. 19/1959 dan pasal 12 ayat 2 UU No.19/2000.
Barang bergerak milik penanggung pajak yang dikecualikan dari penyitaan. Pada kedua UndangUndang tersebut, barang bergerak miliki penanggung pajak dikecualikan dari penyitaan pada dasarnya sama. Hal ini diatur dalam pasal 9 ayat 4 UU No. 19/1959 dan pasal 15 ayat 1 UU No.19/2000.
Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada, dan sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan (oleh pejabat) kepada penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 11 ayat 5 UU No. 19/1959 dan pasal 2 ayat 3 UU No.19/2000.
Sedangkan perbedaan yang terdapat diantara kedua Undang-Undang tersebut cukup banyak. Perbedaan-perbedaan penting yang terdapat diantara kedua Undang-Undang tersebut adalah :
Mengenai surat paksa, perbedaan yang ada yaitu :
Pada pasal 3 ayat 1 UU No. 19/1959 disebutkan surat paksa berkala kata-kata “Atas Nama Keadilan”, sedangkan pada pasal 7 ayat 1 UU No.19/2000 disebutkan surat paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Pada UU No. 19/2000 diatur mengenai alasan-alasan dikeluarkan surat paksa (pasal 8) dan mengenai surat paksa pengganti (pasal 9), sedangkan UU No. 19/1959 hal tersebut belum diatur.
Mengenai jurusita perbedaan yang ada yaitu :
Pada pasal 1 butir c UU No.19/1959 disebutkan jurusita adalah petugas yang ditunjuk oleh atau atas kuasa Menteri keuangan untuk melaksanakan Surat Paksa, sedangkan pada pasal 1 bagian 6 UU No. 19/2000 disebutkan bahwa jurusita adalah pelaksanaan tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Pada pasal 5 UU No. 19/2000 diatur secara terperinci mengenai tugas, kelengkapan identitas, kewenangan tugas, bantuan yang dapat diminta, dan wilayah kerja Jurusita Pajak, sedangkan pada UU No. 19/1959 hal-hal tersebut belum diatur.
Pada UU No. 19/2000 diatur mengenai penagihan seketika dan sekaligus (pasal 6), sedangkan pada UU No. 19/1959 hal tersebut belum diatur.
Mengenai penyitaan, perbedaan yang ada yaitu :
Pada UU No. 19/2000 diatur lebih lanjut mengenai penyitaan yang tetap dapat dilaksanakan tanpa kehadiran Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita yang tetap mempunyai kekuatan mengikat meskipun penanda tangannya ditolak oleh Penanggung Pajak, dan mengenai penempelan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dan segel sita pada barang yang disita (pasal 12 ayat 4-8). Sedangkan, pada UU No. 19/1959 hal-hal tersebut belum diatur.
Pada UU No. 19/2000 terdapat ketentuan-ketentuan mengenai :
1).Obyek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa (pasal 20). 2) Penyitaan tambahan (pasal 21) 3) Pencabutan sita (pasal 22)